Mungkin sedikit banyak Pak Boss mengenal Tony Hsieh, CEO Zappos. Pada tahu 1996, Hsieh menjadi co-Founder LInkExchange, yang kemudian dibeli oleh Microsoft pada tahun 1998 senilai 265 Juta Dolar Amerika.
Kemudian ia kembali memulai karir di Zappos sebagai penasihat dan investor pada tahun 1999 dan terus berlanjut hingga menjadi CEO serta mengembagkan dari perusahaan dengan hampir tanpa penjualan pada tahun 1999 menjadi perusahaan dengan penjualan kotor lebih dari 1 juta dollar Amerika setiap tahunnya.
Pada tahun 2009 Zappos dihargai sebesar 1,2 Miliar Dolar Amerika oleh perusahaan penjualan Amazon. Ini merupakan aquisisi dengan nilai terbesar oleh perusahaan Amazon, yang diraih oleh Zappos.
Zappos sendiri merupakan perusahaan penjualan sepatu dan pakaian online yang berpusat di Las Vegas, Nevada, Amerika Serikat. Sekilas, Zappos terlihat sebagai platform e-commerence pada umumnya yang awalnya menjual sepatu, dan kemudian berkembang menjual berbagai fashion untuk dewasa dan anak-anak.
Perkembangan pesat Zappos tak lepas dari loyalitas konsumen untuk kembali berbelanja di platform ini berkat pelayanan pelanggan yang sangat mengesankan. Dalam pelayanannya terhadap pelanggan (customer service), zappos sangat terkenal dengan istilah WOW, dimana pelayanan yang diberikan akan memberikan pengalaman berbeda di masing-masing konsumen.
Dengan didukung oleh pegawai customer service yang terlihat selalu ceria, Zappos berhasil membangun hubungan dengan pelanggan. Untuk mendukung usaha ini, Zappos menempatkan nomor telepon mereka dalam setiap halaman situs mereka agar terjadi interaksi secara langsung dengan pelanggan. Meskipun terkesan menggunkan cara lama, nyatanya Zappos dapat membentuk ikatan dengan pelanggan dengan cara ini.
Peternakan Cacing
Sebelum ia menjadi CEO perusahaan sebesar ini, Hsieh merupakan seorang anak pada umumnya. Sebuah peternakan cacing menjadi langkah awal ia memulai cerita suksesnya, ketika ia mengikuti orangtuanya ke sebuah peternakan cacing di daerah Sonoma.
Ketika orangtuanya membeli satu kotak lumpur dengan jaminan terdapat sekitar seribu ekor cacing. Ia lalu membayangkan jika ia dapat membuat peternakan cacing di belakang rumahnya. Dengan berbekal jaring kawat, lumpur, dan kuning telur mentah ia memulai beternak cacing tanah dengan menumpahkan ribuan cacing ke dalamnya. Meskipun pada akhirnya ia menyerah dengan bisnis peternakan tersebut.
Heish merupakan anak dari imigran Taiwan. Orang tuanya terbiasa mendidik untuk menguasai berbagai macam keahlian dan menyiapkan pendidikan tertinggi. Ibunya sangat berharap ia dapat memperoleh gelar PhD. Namun, Hsieh lebih tertarik untuk menjalankan bisnis sebagai jalannya untuk memperoleh uang. Ia masih berangan-angan untuk memiliki usahanya sendiri, karena baginya ia kana memperoleh kebebasan yang ia inginkan.
Sebagai langkah awal ia memulai usahanya sejak ia masih Seklah Dasar, dimana ia mencoba menjual barang bekas milik ayahnya. ia menyewa garasi temannya, dan ia juga menjual jus lemon. Walaupun ia tak dapat menjual barang bekas, ia memperoleh uang dari hasil berjualan minuman yang pada akhirnya justru menjadi penghasilannya.
Perjalanan dalam Tulisan
Pada saat Hsieh menjadi siwa Sekolah Menengah, ia kembali mencari cara untuk menghasilkan uang. Ia bekerja sebagai pengantar koran. Namun ia menyadari, ia hanya dihargai sebayak 2 dollar Amerika per jamnya. Ia lalu memutuskan keluar dari pekerjaan sebagai loper koran dan mulai membuat korannya sendiri.
Ia menyusun cerita, membuat teka teki silang, dan menciptakan kelakar lalu mencetaknya di kertas berwarna orange dan menamainya The Gobler dengan harga $5 per eksemplarnya. Ia menjual kepada teman-temannya, dan untuk seorang tukang cukur ia memberi harga sebesar $20.
Ia lalu berpikir akan menambah iklan sehingga ia dapat meningkatkan pendapatannya menjadi $100. Ia lalu menawarkan ruang iklan kepada berbagai pelaku usaha di sekitarnya, namun mereka secara halus menolaknya. Ia menghentikan bisnis korannya setelah hanya dapat menjual 2 eksemplar pada edisi berikutnya.
Pada suatu waktu, Hsieh dan saudaranya, Andy, membaca sebuah majalah Boy’s ife, seperti yang mereka lakukan pada tiap bulannya hingga ia tertarik pada satu halaman penuh di bagian belakang majalah yang menampilkan daftar hadiah yang bisa didapat dari menjual kartu ucapan yang terlihat begitu mudah dimana ia hanay butuh untuk berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain, mengumpulkan point, dan menukarnya dengah hadiah berupa mainan dan skateboard yang ia inginkan.
Ia memutuskan untuk membeli beberapa kartu ucapan beserta katalognya kemudian ia menjualnya dari satu pintu ke pintu yang lain.Seorang wanita membukakan pintu untuknya dan berkata bahwa saat itu masih bulan Agustus, dimana bukan waktu yang tepat untuk menjual kartu ucapan natal. Ia menyadari kekeliruannya dan mulai memikirkan ide bisnis lain yang tak memerlukan banyak sensasi.
The Button Pins
Ketika ia masih duduk di Sekolah Dasar, ia memiliki kawan baik bernama Gustav. Ketika ia mengunjungi temannya, ia meminjam buku yang menurutnya buku terbaik yang pernah ia baca berjudul “Free Stuff for Kids”.
Didalamnya terdapat ribuan susuatu yang ditawarkan secara gratis dan dapat diperoleh dengan cara menuliskan surat untuk masing-masing alamat yang berbeda termasuk di dalamnya SASE (Self Adressed Stamped Envelope) dan apapun sistem pembayaran yang mereka pakai. Hseih dan Gustav dapat mengumpulkan seluruh item yang terdapat dalam buku dan merasa keren.
ia lalu kembali setelah menjalankan tugasnya menjual kartu ucapan dan kembali membaca Boy’s Life dan menemukan sebuah Button-making kit seharga $50. Peralatan itu memungkinkan untuk mencetak sebuah foro atau gambar cetak ke dalam pin-button dan dapat dipasang ke kaus.
Biaya untuk membuat sebuah pin sebanyak 25 sen. ia lalu mengecek buku yang ia pinjam dari Gustav dan menemukan bahwa belum ada perusahaan lain yang memproduksi barang tersebut. ia lalu menghubungi penerbit dari buku tersebut dan menawarkan kepada anak-anak untuk mengirimkan foto, SASE, dan uang sebesar $1, maka ia kana mendapat keuntungan sebesar 75 sen per order. Beberapa bulan kemudian ia mendapat balasan dari penerbit bahwa produknya lolos seleksi dan akan disertakan dalam edisi berikutnya.
Dengan meminjam uang dari orangtuanya, ia memulai bisnis pin tersebut. Setelah dua minggu setelah buku terbit, ia baru memperoleh pembelian pertama, bertambah dua kali lipat di hari selanjutnya, dan di akhir bulan ia berhasil mendapatkan penghasilan sebesar 200 Dolar Amerika.
Setelah ia mulai kesulitan membagi waktu dengan sekolah, ia memutuskan untuk meningkatkan mesin menjadi semi-otomatis seharga $300 untuk menambah efisiensi dan produktifitas. Ia mendapatkan penghasilan sebesar 200 Dolar Amerika setiap bulannya ketika ia masih duduk di bangku seklah menengah.
Pada akhirnya bisnis tersebut harus berhenti karena orang tuanya pindah dan tidak ada yang meneruskan. Ia lalu menyadari bahwa ia harus memiliki rencana yang matang dalam menjalankan sebuah bisnis. (Bersambung)
Bagaimana? Sudah cukup memotivasi? Atau penasaran dengan kelanjutannya? Tunggu unggahan Bagian-2 dari kami.
Baca juga: CEO Muda Indonesia
PERJALANAN AWAL CEO ZAPPOS. BAGIAN-2
Hai Pak Boss! Kembali lagi dengan cerita perjalanan awal Tony Hsieh, CEO Zappos yang telah kita ulas di artikel sebelumnya. Sebenarnya, apa sih yang membuat kita tertarik mengulas tentang CEO Zappos ini? Sekilas Zappos merupakan situs belanja online pada umumnya, namun mereka merupakan perusahaan dengan pencapaian penghasilan 1 Milyar Dolar Amerika dalam kurun waktu 10 tahun.
Fakta lain tentang Zappos adalah, 75 persen penjualan mereka berasal dari pelanggan setia. Pelanggan tersebut sebelumnya pernah merasakan pengalaman berbelanja di Zappos dan kembali lagi.
Tak hanya itu, 44% pelanggan baru mereka menegtahui Zappos dari iklan internet, dan 43% megetahui Zappos dari mulut ke mulut. Loyalitas konsumen tidak hanya diperoleh berkat ketersediaan produk, namun juga karena layanan pelanggan yang terkenal dengan WOW.
Layanan ini menciptakan pengalaman berbeda bagi setiap pelanggan karena customer service sendiri melakukannya dengan cara yang tak terduga. Layanan pelanggan menciptakan komunikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakter masing-amsing pelanggan. Namun sebelum membahas itu lebih lanjut, Mbak Min terlebih dahulu akan menceritakan perjalanan awal yang dilalui oleh Tony Hsieh sebelum akhirnya Zappos menjadi platform e-commerence sebesar ini.
Necessity is The Mother of Invention
Memasuki bangku universitas, Hsieh terdaftar sebagai mahasiswa Harvard setelah mendaftar di berbagai universitas sebelumnya, yaitu Brown, UC Berkeley, Stanford, MIT, Priceton, Cornell, Yale, dan Harvard.
Ia Menyusun jadwal namun berakhir dengan tidak menghadiri kelas awal tahun apapun. Ia mengisi hari harinya dengan menonton Days of Our Lives, dan pergi keluar bersama teman sekamarnya. Seperti layaknya Ketika ia bersekolah, ia mengambil beberapa kelas seperti American Sign Language, Linguistik, Bahasa Mandarin, dan untuk memenuhi syarat ia mengambil kelas agama.
Namun seperti sebelumnya, ia jarang masuk kelas. Namun ia harus menghadiri ujian akhir dimana ia tidak pernah memiliki persiapan, karena ia tidak pernah sedikitpun membuka buku.
Dua minggu menjelang ujian akhir, Proffesornya memberikan kisi-kisi tema yang akan muncul pada ujian akhir. Lima dari tema tersebut akan dipilih secara acak dan mereka diharuskan menuliskan beberapa paragraph tentang masing-masing tema. Heish berpikir ia tak mungkin membaca semua materi dalam dua minggu.
Seperti pepatah yang pernah ia dengar, “Kebutuhan adalah ibu dari Penemuan”. Ia memanfaatkan akses electronic newsgroup dan mengundang semua mahasiswa Harvard yang menghadiri kelas agama untuk berpartisipasi dalam kelompok belajar terbesar yang pernah ia buat.
Untuk mereka yang tertarik, ia akan mengajukan 3 topik yang menurutnya berpotensi untuk keluar dalam ujian. Masing-masing siswa harus mengirimkan e-mail beberapa paragraph tentang topik yang mereka dapatkan pada saat ujian. Kemudian ia menggabungkan semua balasan e-mail, menggandakan, dan mendistribusikan masing-masik bundle dengan harga 20 Dolar, dan peredaran bundle itu terbatas bagi yang berpartisipasi dalam kelompok belajar tersebut.
Peluang yang Tak Terduga
Ternyata peminat dari proyeknya semakin banyak. Hsieh lalu mengumpulkan jawaban yang beragam dari topik-topik tersebut. Pada akhirnya, ia memiliki panduan belajar paling komprehensif tanpa harus membuka buku, dan semua orang merasa ikut andil. Tak hanya itu, ia memiliki penghasilan tambahan dari menjual bundle materi tersebut.
Dalam masa kuliahnya, Hsieh melakukan banyak hal. ia mengikuti komunitas film dan menghasilkan uang dengan menyewakan film untuk diputar di auditorium sekolah dan menjual tiketnya ke mahasiswa. Ia juga mengunjungi peternakan sapi milik temannya di siang hari dan mempelajari cara memeras susu dan berakhir dengan luka jahitan setelah jatuh ketika belajar ice skating.
Hsieh juga melakukan berbagai macam pekerjaan selama di kampus seperti menjadi pegawai catering dalam pernikahan, dan menjadi bartender setelah menjalani 4 jam pelatihan di Harvard Bartending School dan memiliki sertifikat Mixology. Ia melakukan pekerjaan programming, bekerja untuk Harvard Student Agencies, Spinnaker Software, dan bekerja magang di Microsoft. Ia juga bekerja untuk BNN, sebuah perusahaan pengembangan teknologi yang menjadi tulang punggung internet dan memilii kontrak dengan lembaga pemerintah.
Memulai Kembali
Ketika ia menjalani kulaih tingkat senior, ia mulai kembali menjalani bisnis. Hsieh mengambil alih Quincy House Grille yang menempati lantai dasar Quincy House Dorm, dimana asrama tersebut dihuni oleh sekitar 300 siswa dan keika tengah malah menjadi titik temu bagi siswa-siswa yang ingin bermain foosball dan pinball, dan mengobati rasa lapar mereka.
Teman sekamarnya, Sanjay, menjalani bisnis tersebut dan bertanggung jawab mengatur menu, harga, membeli bahan dari pemasok, dan kadang menyediakan makanan untuk mereka. Pada saat itu, peraturan kota melarang pendirian gerai makanan cepat saji di area kampus, dan ia membujuk seorang manager untuk menjual seratus daging ham beku McDonald’s dan menjualnya di kampus. Ia mematok harga 3 dolar untuk burger ditambah 1 dolar untuk biaya pembelian.
Pertemuan Pertama untuk Zappos
Setelah ia bosan dengan rutinitas bisnis burgernya, ia mencoba untuk menjual pizza menggantikan bisnis daging panggangnya. Untuk pizza ukuran besar, ia menghabiskan biaya 2 dollar untuk biaya produksi dan dapat menjualnya seharga 10 dolar atau lebih. Setelah melakukan berbagai pengamatan, ia memutuskan untuk menginvestasikan 2000 dolar untuk oven pizza. Ketika ia menjalani bisnis pizza tersebut, ia bertemu dengan Alfred, yang kemudian bergabung di Zappos sebagai CFO dan COO.
Dahulu alfer merupakan pelanggan utama mereka. Alfred dijuluki sebagai Human Trash Compactor dan moster karena selalu menghabiskan sisa makanan milik teman-temannya. Hseih pikir wajar saja ketika Alfred membeli pizza setiap malam, hingga ia menemukan fakta bahwa Alfred menjual pizza per-slice untuk teman-temannya. Dari situlah ia merekrut Alfred sebagai CFO dan COO Zappons. Ia lalu menyadari bahwa jika selama ini Hseih berfikir menghasilkan uang lebih banyak dari Alferd. Namun faktanya, Alferd menghasilkan uang 10 kali lipat lebih banyak dalam setiap jam.
Di akhir tahun kuliahnya, Sanjay mengenalkannya pada World Wide Web (www). Baginya www cukup menarik meskipun ia tidak menggunakannya untuk waktu yang banyak. Ia memfokuskan diri untuk mendapatkan pekerjaan sembari menunggu lulus. Ketika teman-temannya mendaftar ke bank, konsultan manajemen, dan beberapa pekerjaan bergengsi lainnya, Hseih dan sanjay memutuskan untuk melakukan wawancara dengan berbagai perusahaan teknologi. Tujuannya adalah mencari pekerjaan dengan gaji yang besar dan terlihat tidak terlalu sibuk.
Itulah perjalanan awal Hseih jauh sebelum menjadi CEO Zappos. Dari cerita bersambung ini kita dapat mempelajari bahwa kegigihan, riset, dan kebutuhan dapat menciptakan hal-hal baru yang dapat meningkatkan keuntungan dalam pendapatan. Masih banyak hal yang dapat dipelajari dari cerita hidup Hseih. Semoga sedikit cerita ini dapat menginspirasi dan memotivasi Pak Boss semua dalam membakar semangat dalam berwira usaha. Salam!